“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (At-Taubah:105)
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (al-An’am:153)
Sepuluh Rukun Baiat.,
Terdapat sepuluh rukun baiat yang dirisalahkan oleh Imam Hasan Al-Banna, dimana sepuluh rukun itu bukan saja ditujukan untuk jamaah Ikhwanul Muslimin, akan tetapi kalau kita telaah lebih jauh dapat diterapkan oleh umat muslim secara luas karena sifatnya yang umum. Sepuluh rukun itu adalah: fahm (pemahaman), ikhlas, amal (aktifitas), jihad, tadhiyah (pengorbanan), taat (kepatuhan), tsabat (keteguhan), tajarrud (kemurnian), ukhuwah, dan tsiqah (kepercayaan).
Dalam tulisan ini, saya hanya akan menyajikan rukun yang pertama saja dahulu. Tulisan ini saya ambil dari buku “Risalah Pergerakan Al-Ikhwan Al-Muslimin” jilid 2 terbitan Era Intermedia yang berjudul asli “Majmu’ah Risa’ilil Imam Asy-syahid Hasan Al-Banna”.
Penempatan ‘Fahm’ sebagai rukun pertama juga ternyata ada maksudnya, seperti kita beriman. Sebelum beriman, maka kita sebenarnya berilmu terlebih dahulu. Segala tindakan yang kita lakukan hendaknya disertai dengan ilmu, jika tidak, maka bisa saja yang kita lakukan itu sia-sia, seperti berbuat tanpa tujuan. Allah AWT pun menurunkan Al-Quran diawali dengan penyeruan terhadap berilmu”Iqra”.
‘Fahm’
Fahm (pemahaman) yang dimaksud adalah engkau yakin bahwa fikrah kita adalah ‘fikrah islamiyah yang bersih”. Hendaknya engkau memahami Islam, sebagaimana kami memahaminya dalam batas-batas ushul al-‘isyrin (duapuluh prinsip) yang sangat ringkas berikut ini.
Pertama, Islam adalah sistem menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah akidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.
Kedua, Al-Quran yang mulia dan Sunah rasul yang suci adalah tempat kembali setiap Muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Quran sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri memaknai suatu ayat tanpa memiliki nash pendukung yang lain, hanya mengandalkan pendapat sendiri tanpa menyandarkannya pada pengetahuan bahasa Arab) dan ta’assuf (serampangan). Selanjutnya, ia memahami Sunnah yang suci melalui rijalul hadits (perawi hadits) yang terpercaya.
Ketiga, Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia dapat pula dianggap dalil asalkan tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan teks-teksnya.
Keempat, jimat, mantra, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara ghaib, dan semisalnya, adalah kemungkaran, yang harus diperangi, kecuali mantra dari ayat Al-Quran atau ada riwayat dari Rasulullah SAW.
Kelima, pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya, tentang sesuatu yang mengandung ragam interpretasi, dan tentang sesuatu yang mebawa kemaslahatan umum, dapat diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Ia mungkin berubah seiring perubahan situasi, kondisi, dan tradisi setempat. Prinsipnya, ibadah itu diamalkan dengan kepasrahan total tanpa mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan selain ibadah (adat istiadat), harus mempertimbangkan maksud dan tujuannya.
Keenam, setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali al-ma’shum (Rasulullah) SAW. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan Kitab dan Sunnah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya maka kitabullah dan Sunnah rasul-Nya lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh melontarkan kepada orang-orang karena sesuatu yang diperselisihkan dengannya – kata-kata caci maki dan celaan. Kita serahkan saja terhadap niat mereka, dan mereka telah berlalu dengan amal-amalnya.
Ketujuh, setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah dalil-dalil hukum furu’(cabang), hendaklah mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah baiknyajika – bersamaan dengan sikap mengikutinya ini – ia berusaha semampunya untuk mempelajari dalil-dalilnya. Hendaknya, ia menerima setiap masukan yang disertai dengan dalil selama ia percaya dengan kapasitas orang yang memberi masukan itu. Hendaknya, ia menyempurnakan kekurangannya dalam hal ilmu pengetahuan jika ia termasuk orang yang pandai, sehingga mencapai derajat penelaah.
Kedelapan, khilaf dalam masalah fiqih furu’(cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, serta tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyahdalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu dengan tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik.
Kesembilan, setiap masalah yang amal tidak dibangun diatasnya - sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak perlu – adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Quran yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan tentang perihal perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat (padahal masing-masing dari mereka meiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi dan pahala niatnya). Dengan takwil (menafsirkan baik perilaku para sahabat) kita terlepasz dari persoalan.
Kesepuluh, makrifat kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian (Dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan akidah Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits sahih tentangnya, serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhububgan dengannya, kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya tanpa takwil dan ta’thil, serta tidak memperuncing perbedaan yang terjadi di antara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana rasulullah SAW dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya.
“...dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami......" (Ali-‘Imran:7)
Kesebelas, setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya, tetapi dianggap baik oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan menggunakan cara yang terbaik, yang tidak justru menimbulkan bid’ah lain yang lebih parah.
Kedua belas, perbedaan pendapat dalam masalah bid’ah Iidhafiyah (bid’ah penambahan), bid’ah tarkiyah (bid’ah penolakan), dan iltizam (membuat peraturan-peraturan bagi ibadah yang bersifat mutlak) terhadap ibadah muthlaqah (yang tidajk ditetapkan, baik cara maupun waktunya) adalahperbedaan dalam masalah fiqih. Setiap orang memiliki pendapat sendiri. Namun tidaklah mengapa jika dilakukan penelitian untuk mendapatkan hakikatnya dengan dalil dan bukti-bukti.
Ketiga belas, cinta kepada orang-orang yang shaleh, memberikan penghormatan kepadanya, dan memuji karena pengaruh baiknya adalah bagian dari taqarub kepada Allah SWT. Sedangkan para wali adalah mereka yang disebut dalam firman-Nya, yaitu “…orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa. Karamah pada mereka itu benar-benar terjadi jika memenuhi syarat-syarat syar’i-nya. Semua itu dengan suatu keyakinan bahwa mereka - semoga Allah meridhai mereka – tidak memiliki mudarat dan manfaat bagi dirinya, baik ketika masih hidup maupun setelah mati, apalagi bagi orang lain.
Keempat belas, ziarah kubur – kubur siapapun – adalah Sunnah yang disyariatkan dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah SAW. Namun, meminta pertolongan pada penghuni kubur siapapun mereka, berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat (baik dari jarak dekat maupun kejauhan), bernazar untuknya, membangun kuburnya, menutupinya dengan satir, memberikan penerangan, mengusapnya (untuk mendapatkan berkah), bersumpah dengan selain Allah, dan segala sesuatu yang serupa dengannya adalah bid’ah besar yang wajib diperangi. Selain itu, juga janganlah mencari takwil (pembenaran) terhadap berbagai perilaku itu, demi menutup pintu fitnah yang lebih parah lagi.
Kelima belas, doa. Apabila diiringi tawasul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya adalah salah satu perselisihan furu’ menyangkut tata cara berdoa, bukan termasuk masalah akidah.
Keenam belas, istilah (keliru) yang sudah mentradisi (seperti riba Bank) tidak mengubah hakikat hukum syar’i-nya. Akan tetapi, ia harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan syariat itu, dan kita berpedoman dengannya. Di samping itu, kita harus berhati-hati terhadap berbagai istilah yang menipu (misalnya prinsip Islam sangat peduli dhuafa, sering dijadikan hujah bagi orang yang ingin mengatakan bahwa sosialisme itu juga Islami), yang sering digunakan dalam pembahasan masalah dunia dan agama. Ibrah itu ada pada esensi di balik suatu nama; bukan pada nama itu sendiri.
Ketujuh belas, akidah adalah fondasi aktivitas; aktivitas hati lebih penting dari aktivitas fisik. Namun, usaha untuk menyempurnakan keduanya merupakan tuntutan syariat, meskipun kadar tuntutan masing-masing berbeda.
Kedelapan belas, Islam itu membebaskan akal pikiran, menghimbaunya untuk melakukan telaah terhadap alam, mengangkat derajat ilmu dan ulamanya sekaligus, dan menyambut hadirnya segala sesuatu yang melahirkan maslahat dan manfaat. Hikmah adlah barang hilang milik orang yang beriman (mukmin). Barangsiapa mendapatkannya, ialah orang yang paling berhak atasnya.
Kesembilan belas, panduan syar’i dan pandangan logika memiliki wilayahnya masing-masing yang tidak dapat saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak pernah berbeda (selalu beririsan) dalam masalah yang qath’i (absolut). Hakikah ilmiah yang benar tidak mungkin bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat yang tsabitah (jelas). Sesuatu yang zhanni (interpretatif) harus ditafsirkan agar sesuai dengan yang qath’i. jika yang berhadapan adalah dua hal yang sama-sama zhanni maka pandangan yang syar’i lebih utama untuk diikuti sampai logika mendapatkan legalitas kebenarannya, atau gugur sama sekali.
Keduapuluh, kita tidak mengafirkan seorang Muslim yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadat, mengamalkan kandungannya, dan menunaikan kewajiban-kewajibannya, baik karena lontaran pendapat maupun kemaksiatannya, kecuali dia mengatakan kata-kata kufur, mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai bagian penting dari agama, mendustakan secara terang-terangan Al-Quran, menafsirkannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan, kecuali dengan tindakan kufur.
Apabila seorang muslim memahami ajaran Agamanya dengan batasan kaidah-kaidah di atas, berarti ia telah mengetahui makna syiarnya:”Al-Quran adalah dusturi kami dan rasul adalah qudwah kami.”
Allahu akbar...!!!
Di sadur dari: - “Majmu’ah Risa’ilil Imam Asy-syahid Hasan Al-Banna” -